Iklan

Kamis, 05 Juni 2025, Juni 05, 2025 WIB | Dibaca: 0 kali
Last Updated 2025-06-05T19:04:21Z

IPAMA Angkat Suara di Eksekusi IMKA-YMCA: Obyek Masih Status Quo

Advertisement




BhirawaNews.com||Surabaya,Ricuhnya eksekusi Gedung Cagar Budaya IMKA-YMCA oleh Pengadilan Negeri Surabaya pada Rabu (4/6/2025) menyisakan luka fisik, kegelisahan publik, dan tanda tanya besar soal penegakan hukum. Salah satu suara yang paling lantang bersuara di tengah eksekusi adalah Ketua DPP H Rosid Dan Ketua DPD IPAMA (Ikatan Persatuan Putra Madura) Jawa Timur, Yahya, yang hadir langsung di lokasi sebagai bentuk pendampingan terhadap Joan Maria Louise Mantiri, warga negara Indonesia yang telah menempati gedung tersebut selama puluhan tahun.


Yahya menegaskan bahwa kehadiran IPAMA di lokasi eksekusi bukan untuk menentang hukum, melainkan untuk mengawal proses yang adil dan memberikan perlindungan terhadap warga yang patut dipertanyakan status hukumnya. Dalam pernyataannya, Yahya menyampaikan, 

“Saya berdasarkan memori kasasi obyek yang disengketakan, yang ingin saya tanyakan bahwa obyek ini dalam status quo. Artinya apa? Masih dalam sengketa perdata.” ungkapnya. 


“Perlu diingat, saya tidak melawan, saya tidak memprovokasi, saya tidak menahan, cuma saya ingin berbicara khususnya dengan Kabag Ops Polrestabes dan juru sita Pengadilan Negeri Surabaya.” tambahnya di hadapan Media. 


Lebih lanjut, Yahya menyoroti aspek legalitas penguasaan yang selama ini dijalankan Joan berdasarkan ketentuan hukum pertanahan nasional:


“Sekali lagi saya menanyakan obyek yang disengketakan sama, berdasarkan PP 24 Tahun 1997. Apabila seseorang selama 20 tahun merawat dan menempati obyek, penerbitan sertifikat bisa dimohonkan. Faktanya, yang punya obyek ini pulang dan pada akhirnya ditempati selama puluhan tahun oleh warga Indonesia, Bu Joan, yang mana objeknya ini sesuai dengan KTP. Sekali lagi kenapa kita mempertahankan? Karena berdasarkan PP 24 Tahun 1997.” Tegasnya. 


Pernyataan Yahya menjadi sorotan tajam, mengingat bangunan yang dieksekusi bukan sembarang properti melainkan Gedung IMKA-YMCA, situs sejarah yang sejak zaman kolonial dikenal sebagai pusat pendidikan, olahraga, dan kegiatan sosial lintas agama. Eksekusi paksa terhadap obyek yang status hukumnya masih diperdebatkan pun dinilai sebagai bentuk kekerasan simbolik terhadap sejarah bangsa.


Menanggapi hal ini, kuasa hukum Joan, Sururi, SH, MH, turut angkat bicara. Ia menegaskan bahwa eksekusi ini tidak memiliki dasar kuat karena status kepemilikan yang diklaim penggugat tidak jelas secara hukum:


“Gedung diminta diserahkan karena obyek ini bukan milik kita, tapi milik IMKA. Ada yang mengklaim milik Glois, namun dia sudah pulang ke Belanda. Jadi ini tanah terlantar sebenarnya. Siapa yang berhak adalah orang yang menempati. Terus eksekusi diminta untuk menyerahkan, menyerahkan kepada siapa? Karena tidak ada putusan yang menyatakan obyek milik Liem. Jadi ini obyek milik negara sebenarnya, karena tanah terlantar.”  Ungkapnya. 


Pernyataan kuasa hukum tersebut menambah dimensi baru atas sengkarut eksekusi ini. Dalam situasi di mana status hukum belum final, dan penguasaan fisik atas tanah telah berlangsung puluhan tahun oleh warga negara Indonesia, pertanyaan besar pun menggantung: untuk siapa sebenarnya keadilan ditegakkan, dan siapa yang dilindungi oleh hukum?

(Red)