Iklan

Minggu, 25 Mei 2025, Mei 25, 2025 WIB | Dibaca: 0 kali
Last Updated 2025-05-25T08:02:27Z

“Maaf, Aku Ingin Pulang” — Sebuah Jeritan dari Seorang Lelaki yang Pernah Hancur

Advertisement





BhirawaNews.com||Surabaya-Oleh Redaksi Ia pernah punya segalanya, cinta, keluarga, pekerjaan yang ia cintai. Tapi hari ini, ia hanya punya satu hal, penyesalan.


Lelaki itu pernah berdiri gagah sebagai jurnalis muda. Tahun 2016, ia menulis dengan api di dadanya. Mengejar kebenaran, menyusun kata demi kata seperti doa bagi orang tertindas. Tapi takdir sering bermain sunyi. Ia tergelincir bukan karena bodoh, tapi karena lelah.


Dan di saat dunia menjadi terlalu berat, ia memilih pelarian yang paling salah, narkoba.


“Awalnya cuma untuk tenang, cuma untuk kuat. Tapi saya gak sadar... saya sedang menggali lubang untuk mengubur hidup saya sendiri.” ungkapnya. 


Satu persatu, yang dicintainya pergi. Istri yang selalu setia memilih angkat kaki. Orang tua yang selalu percaya tak lagi mengenali anaknya. Cermin pun enggan memantulkan wajahnya.


Lalu datang hari itu, penggerebekan. Sirine. Jeruji. Tiga tahun penjara bukan hanya mengurung tubuh, tapi menghantam jiwanya berkeping-keping.


“Yang paling menyakitkan bukan saat diborgol. Tapi saat saya lihat keluarga saya berdiri di pojok ruang sidang. Dia gak kuat bicara. Tangisnya sunyi. Dan dalam diam itu, saya tahu… saya sudah menghancurkan segalanya.” ungkapnya. 


Setiap malam di balik tembok dingin, ia menangis. Bukan karena takut. Tapi karena rindu. Rindu jadi manusia. Rindu jadi ayah. Rindu dipeluk.


Ia merangkai doa dengan tangan yang dulu memegang Narkoboy, kini menggenggam harapan. Doa-doa yang sederhana:


“Tuhan… kalau aku masih punya sisa waktu, jangan biarkan aku mati dalam keadaan begini. Aku ingin pulang. Aku ingin memeluk ibuku tanpa malu. Aku ingin memanggil nama anakku, meski hanya dari jauh.” pintanya lirih. 


Hari ini, ia telah bebas. Tapi kebebasan itu bukan hadiah melainkan hutang. Hutang kepada masa lalu, kepada keluarganya, kepada dirinya sendiri.


Ia kembali menulis. Kembali menjadi jurnalis. Tapi kini, bukan untuk mengejar nama. Ia menulis karena percaya, mungkin, lewat kata-kata… ia bisa menebus luka-luka yang tak pernah sempat ia jahit.


“Saya nggak mau dimaafkan sekarang. Saya cuma ingin dilihat… sebagai seseorang yang berjuang untuk kembali jadi manusia.” ujarnya sambil menunduk. 


Untuk generasi muda, ia tak ingin memberi ceramah. Hanya satu pesan, dari seseorang yang pernah terkubur hidup-hidup oleh keputusannya sendiri:


“Narkoba nggak akan ngasih kamu apa-apa. Kamu pikir kamu bisa kendalikan? Kamu salah. Yang dikorbankan bukan cuma tubuhmu. Tapi orang-orang yang sayang sama kamu. Kamu nggak sadar… mereka ikut hancur.” tegasnya sambi matanya berkaca-kaca. 


Ini bukan kisah pahlawan. Ini kisah seorang manusia yang pernah jatuh begitu dalam, hingga hanya sisa napas dan air mata yang menyertai malam-malamnya. Tapi dari titik paling gelap itulah, ia belajar satu hal, kadang, pulang adalah perjalanan paling panjang yang pernah dilakukan manusia. (DVD)