Advertisement
BhirawaNews.com||Surabaya – Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia pada Minggu 17 Agustus 2025, diwarnai insiden memalukan. Prosesi pengibaran bendera Merah Putih di Balai Kota Surabaya dan Lapangan Kondosapata Mamasa, Sulawesi Barat, menjadi sorotan publik setelah bendera terbalik dan tali pengikat putus.
Dalam rekaman yang viral, bendera yang seharusnya Merah di atas dan Putih di bawah justru terbentang sebaliknya Putih diatas dan Merah di bawah sehingga menyerupai bendera Polandia atau Monako. Di lokasi lain, tali bendera putus hingga prosesi terhenti dan membuat peserta upacara kaget.
Pengamat sosial Eko Prianto atau aktivis Eko Gagak dikenal dengan ketajaman analisis dan keberaniannya dalam menyuarakan pandangan kritis terhadap isu-isu struktural yang mencerminkan realitas serta ketimpangan yang dihadapi masyarakat menilai kejadian ini sebagai tamparan keras bagi bangsa dan negara. "Paskibra telah ditempa fisik dan mental demi mengemban tugas negara, apa jadinya jika momen sakral justru diwarnai kesalahan fatal yang menyayat hati ratusan juta pasang mata bangsa dan negara Indonesia ?" ungkap Eko Gagak sambil menikmati kopinya, Kamis (21/8/2025).
Menurut Eko Gagak, insiden bendera terbalik bukan sekadar kelalaian atau kesalahan teknis, melainkan memiliki makna simbolik yang berbahaya. Dalam konteks internasional, bendera terbalik sering kali dimaknai sebagai sinyal bahaya, bentuk protes, atau keadaan darurat.
"Hari Kemerdekaan adalah momentum sakral. Jika bendera terbalik, publik bisa menafsirkan sebagai tanda marabahaya atau penghinaan terhadap bangsa dan negara," ujarnya.
Ia menyinggung refleksi sejarah terkait perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato Surabaya tahun 1945. Menurutnya, kesalahan dalam pengibaran bendera pada saat upacara kemerdekaan melukai rasa nasionalisme seluruh rakyat dan dapat menimbulkan dampak psikologis serta keresahan sosial.
Eko Gagak mengingatkan bahwa pengibaran bendera telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1958. Setiap kesalahan harus menjadi evaluasi serius, bukan sekadar permintaan maaf.
"Kesalahan ini jangan dianggap tidak penting. Upacara kemerdekaan adalah simbol kehormatan bangsa dan negara jangan sampai berubah menjadi tontonan menyedihkan yang mencederai cinta tanah air serta menggerogoti kedaulatan rakyat," pungkas Eko Gagak.
Dirgahayu Republik Indonesia ke-80, jadikan momentum sebagai pijakan kesadaran untuk segera bangkit menuju kemerdekaan yang sesungguhnya.
Kontributor : Eko Gagak
(Red)